Menurut sejarah, tepatnya legenda, kerajaan Kediri yang kala itu diperintah oleh Prabu Jayabaya sama-sama “mokswa” beserta raja dan punggawanya. Konon, keduanya berpindah ke alam gaib.
Menurut kepercayaan kabuyutan, Wisnu ngejawantah atau turun ke Arcapada di bumi Jawa. Tanah yang dipilih oleh sang Wisnu adalah Kediri, dan kemudian dia bergelar Sri Jayabaya. Wisnu sendiri berarti hidup, urip nurcahyo, suksma.
Sedang arti nejawantah adalah ngeja = muncul, kelihatan dan wantah = nyata. Dan bernama Jayabaya berarti = kesaktian, kemenangan, benih hidup yang berwujud menjadi baya = bayi. Di Kediri dia berwujud badan raga, atau manusia hidup yang dilengkapi suksma dan raga. Oleh karena itu, banyak yang percaya kalau Kediri itu tempat yang paling tua di tanah jawa, tempat hidup manusia pertama di tanah Jawa yang sudah lengkap dengan suksma dan raganya.
Kelahiran Wisnu di tanah Kediri sendiri persisnya berlangsung di sebuah desa kecil yang dibuka ditengah rimba belantara di pinggir sungai Kediri, Jawa Timur. Karena tanahnya yang subur, maka banyak warga yang ikut bergabung dan menjadi ramailah tempat itu. Yang babad alas adalah kakak beradik yang sakti dan bijaksana bernama Kyai Doho dan Kyai Doko.
Ngejawantahnya Wisnu yang kemudian berganti nama menjadi Jayabaya di Kediri, kelak akan membuat tempat ini menjadi pesat sekali perkembangannya. Karena itu, akhirnya dibentuk sebuah negeri yang diberi nama kerajaan Doho. Sedangkan desanya, atau mungkin ibukotanya jika di jaman sekarang, diberi nama Daka. Istananya sendiri di beri nama Mamenang.
Di bawah pemerintahan prabu Jayabaya, banyak kerajaan kecil yang ikut melebur jadi satu. Dengan begitu, kerajaan Doho makin bertambah besar dan berjaya.
Kyai Doho sendiri selaku pembabat hutan diberi kepercayaan oleh raja dengan kedudukan sangat tinggi dengan nama kebesaran Ki Butolocoyo, yang berarti orang bodoh yang bisa dipercaya. Hal ini sebagai bentuk penghargaan raja atas jasanya yang telah membuka wilayah tersebut. Sementara itu, Kyai Doko, adiknya, diberi pangkat senopati perang dan diberi nama Kyai Tunggul Wulung.
Raja dan ratu Mamenang ini punya pesanggrahan bernama pesanggrahan Wanasatur. Di pesanggrahan ini, pasangan pemimpin ini sangat besar sekali tirakatnya. Meski tinggal puluhan hari, keduanya hanya makan rimpang kunir dan temulawak saja. Didekat pesanggrahan yang dulunya digunakan untuk menanam kedua tanaman obat ini sampai sekarang masih bernama desa SiKunir dan Silawak.
Makanya tak mengherankan bila prabu Jayabaya waskita batin. Mengerti sak durunge winarang (tahu sebelum kejadian). Jauh hari sudah diprediksikan kalau sepeninggal dirinya negeri Doho ini akan pindah ke Medang Kamulan, yaitu Prambanan, dan kembali ke Jenggala (daerah Kediri), selanjutnya ke Sigaluh (Jawa Barat), Majapahit (Jatim), ke Jawa Tengah lagi (Demak, Pajang, Mataram), lalu ke jaman baru (kemerdekaan).
Setiap raja memutuskan pindah pusat pemerintahan selalu diikuti kawulanya. Dan daerah yang ditinggalkannya menjadi hutan kembali.
Karena satu peristiwa sang Prabu Jayabaya akhirnya mokswa, dan tak diketahui jejaknya. Bahkan sepeninggal dirinya, negeri Doho dilanda banjir bandang, dan keraton Mamenang rusak parah diterjang ganasnya lahar gunung kelud, hingga akhirnya negeri Doho kembali menjadi hutan belantara.
Ki Butolocoyo yang ikut mokswa akhirnya diminta oleh prabu Jayabaya untuk menjadi raja makhluk halus di Goa Selebale, yang terletak di selatan Bengawan Solo. Kyai Tunggul Wulung ditunjuk untuk menjadi penguasa gunu kelud. Abdi kinasihnya, Ki Kramataruna, tinggal di sebuah sindang atau telaga kecil di desa Kalasan, yang terletak di sebelah barat keraton Mamenang.
0 komentar:
Posting Komentar